Monday, 22 April 2013

BIA, BUMI, BIMBI



Sendirian. Sepi. Samar, bulan bulat penuh menggantung di kaca kusam jendela kamar. Alunan blues Gary Moore membuat lamunanku makin diayun. Aku masih duduk di atas karpet bulu warna jingga pepaya tua dengan buku dan majalah yang berserak. Malam ini aku ingat Bia, Bumi dan Bimbi.

Sebentar kujumput sebatang rokok dari kotaknya yang tergeletak di atas meja kayu bercat coklat. Api pemantik mulai membakar ujungnya. Kuhisap dalam-dalam. Asap putihnya meliuk-liuk seperti tubuh sexy seorang penari. Lagi, kuteguk kopi kental dari cangkir berlogo cafe terkenal dunia yang sejarahnya berawal dari ibukota Britania. Dan, lamunanku lalu kembali kepada mereka.

Awalnya aku tak punya sesuatu yang istimewa dengan Bia. Aku sangat sadar bahwa dia milik kawan karibku Bumi. Sampai kemudian sesuatu terjadi di antara mereka berdua. Bumi tak lagi punya kesetiaan untuk Bia yang begitu menyayanginya dan begitu mencintainya. Bumi mulai bermain api dengan Bimbi, sahabat Bia paling dekat. Dan sesuatu itu, untuk beberapa lama tak membuat Bia curiga karena memang kami berempat hampir selalu bersama kemana-mana. Aku, Bia, Bumi dan Bimbi. 

Sampai akhirnya dengan mata kepala sendiri, Bia melihat Bumi dan Bimbi melakukan sesuatu yang membuatnya benar-benar tak bisa menerima meski dengan semua kata-kata, alasan-alasan atau logika-logika yang mungkin bisa diterima di kepala. Bia terluka. Luka yang akhirnya hanya bisa menyisakan satu kata dari mulutnya. Putus!

Dan waktu berlalu, membuat aku merasa jadi tak jelas di antara mereka bertiga. Bumi kawanku, juga Bia dan Bimbi. Aku bingung. Tak mungkin memilih dan tak mungkin juga berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. Semuanya sama. Sampai suatu ketika tiba-tiba Bia menemuiku di rumah dengan air mata.

"Aru... gua butuh seseorang buat ngomong sekarang. Gua butuh elo..."

Dan itu tak mungkin untuk kutolak. Mungkin juga saat itu aku cuma punya rasa kasihan buat Bia atas semua perlakuan Bumi dam Bimbi kepadanya. Tapi mungkin cinta itu memang ada karena semakin hari berganti perasaan itu juga menjadi semakin ikut berganti. Perasaan lain yang membuatku menjadi seperti orang lain. Rasa yang beda, sayang yang lain, seperti berlebih dari yang kemarin-kemarin. Sampai akhirnya kami jadian di hari ulang tahun ke 17 Bia. Bumi tahu dan dia mengerti saat aku meyakinkannya tentang satu hal penting bahwa aku tidak merebut Bia darinya. Dan Bumi mengerti, karena pada akhirnya dia juga bisa memilih jalan lagi bersama Bimbi.

Kadang aku berpikir, karena Bumi aku bisa mendapatkan Bia dan karena aku bisa menerima Bia dia bisa mendapatkan Bimbi. Dan setelah Bia benar-benar bisa mema'afkan Bumi dan Bimbi, kami akhirnya kembali bisa bersama. Seperti dulu lagi, berempat kemanapun kami pergi. Memang aneh, tapi itulah yang terjadi.

Tapi itu dulu, setahun yang lalu saat kami di ujung kelas 3 SMU. Sekarang semuanya lain. Berbeda. Dua bulan lalu Bia meninggal dunia. Meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Bia pergi karena sakit yang lama. Mungkin Tuhan lebih sayang Bia dengan tidak membiarkannya menderita berlama-lama. Itulah takdir Bia, seperti juga takdir Bumi dan Bimbi. Setelah lulus, Bumi melanjutkan kuliah ke luar negeri dan Bimbi lebih memilih Bali untuk kuliah seni. Mereka berpisah. Melupakan yang sudah-sudah.

Dan sekarang aku masih memandangi 18 tangkai mawar putih di jambangan  kaca yang kubeli sore tadi di toko bunga. Kado ulang tahun Bia yang istimewa. Sama seperti jumlah usianya seandainya sekarang dia masih ada. Kupikir, nanti aku akan letakkan tangai-tangkai bunga mawar itu di atas pusaranya. Sebelum langit pagi menguning, sebelum rumput pekuburan yang berkerudung embun dicumbu waktu hingga mengering. Biar Bia bisa menciumi wanginya dan menatapi kuntum-kuntum putih kesukaannya. Biar Bia tahu bahwa aku akan selalu memberinya sudut ruang yang lapang, di sini, di sebelah jantungku.

Lama, kupandangi bunga mawar itu bersama lamunanku hingga suara sayup adzan subuh singgah di telingaku. Kulihat jam weker warna merah tembaga di samping deretan koleksi CD/DVD. 04.40. Kumatikan rokok yang ujungnya mulai habis terbakar di dasar asbak. Kuhitung ada tujuh puntung  tergeletak di situ. Kopi di cangkir tinggal sedikit lagi tersisa. Aku lalu bergegas mengambil air wudhu. Di benakku, dalam shalat subuhku nanti aku ingin menyelami hati, memuja Sang Pencipta untuk berdo'a. Do'a untuk aku, Bia, Bumi dan juga Bimbi. Subuh yang syahdu, bathinku!


Kata-Kata Kaki
Di kisah sebenarnya, Bia, Bumi, Bimbi adalah AO, TW, RLD. Seandainya kalian membaca tulisan ini, semoga bisa mengingat kembali kisah kenangan kita berempat di sudut-sudut waktu yang bernama Parijs van Java.

No comments: