Sendirian. Sepi. Samar, bulan bulat penuh menggantung di kaca kusam jendela kamar. Alunan blues Gary Moore membuat lamunanku makin diayun. Aku masih duduk di atas karpet bulu warna jingga pepaya tua dengan buku dan majalah yang berserak. Malam ini aku ingat Bia, Bumi dan Bimbi.
Sebentar
kujumput sebatang rokok dari kotaknya yang tergeletak di atas meja kayu bercat
coklat. Api pemantik mulai membakar ujungnya. Kuhisap dalam-dalam. Asap
putihnya meliuk-liuk seperti tubuh sexy seorang penari. Lagi, kuteguk kopi
kental dari cangkir berlogo cafe terkenal dunia yang sejarahnya berawal dari
ibukota Britania. Dan, lamunanku lalu kembali kepada mereka.
Awalnya
aku tak punya sesuatu yang istimewa dengan Bia. Aku sangat sadar bahwa dia
milik kawan karibku Bumi. Sampai kemudian sesuatu terjadi di antara mereka
berdua. Bumi tak lagi punya kesetiaan untuk Bia yang begitu menyayanginya dan
begitu mencintainya. Bumi mulai bermain api dengan Bimbi, sahabat Bia paling
dekat. Dan sesuatu itu, untuk beberapa lama tak membuat Bia curiga karena
memang kami berempat hampir selalu bersama kemana-mana. Aku, Bia, Bumi dan
Bimbi.
Sampai
akhirnya dengan mata kepala sendiri, Bia melihat Bumi dan Bimbi melakukan
sesuatu yang membuatnya benar-benar tak bisa menerima meski dengan semua
kata-kata, alasan-alasan atau logika-logika yang mungkin bisa diterima di
kepala. Bia terluka. Luka yang akhirnya hanya bisa menyisakan satu kata dari
mulutnya. Putus!
Dan waktu
berlalu, membuat aku merasa jadi tak jelas di antara mereka bertiga. Bumi
kawanku, juga Bia dan Bimbi. Aku bingung. Tak mungkin memilih dan tak mungkin
juga berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. Semuanya sama. Sampai suatu
ketika tiba-tiba Bia menemuiku di rumah dengan air mata.
"Aru...
gua butuh seseorang buat ngomong sekarang. Gua butuh elo..."
Dan itu
tak mungkin untuk kutolak. Mungkin juga saat itu aku cuma punya rasa kasihan
buat Bia atas semua perlakuan Bumi dam Bimbi kepadanya. Tapi mungkin cinta itu
memang ada karena semakin hari berganti perasaan itu juga menjadi semakin ikut
berganti. Perasaan lain yang membuatku menjadi seperti orang lain. Rasa yang
beda, sayang yang lain, seperti berlebih dari yang kemarin-kemarin. Sampai
akhirnya kami jadian di hari ulang tahun ke 17 Bia. Bumi tahu dan dia mengerti
saat aku meyakinkannya tentang satu hal penting bahwa aku tidak merebut Bia
darinya. Dan Bumi mengerti, karena pada akhirnya dia juga bisa memilih jalan
lagi bersama Bimbi.
Kadang aku
berpikir, karena Bumi aku bisa mendapatkan Bia dan karena aku bisa menerima Bia
dia bisa mendapatkan Bimbi. Dan setelah Bia benar-benar bisa mema'afkan Bumi
dan Bimbi, kami akhirnya kembali bisa bersama. Seperti dulu lagi, berempat
kemanapun kami pergi. Memang aneh, tapi itulah yang terjadi.
Tapi itu
dulu, setahun yang lalu saat kami di ujung kelas 3 SMU. Sekarang semuanya lain.
Berbeda. Dua bulan lalu Bia meninggal dunia. Meninggalkan kami semua untuk
selama-lamanya. Bia pergi karena sakit yang lama. Mungkin Tuhan lebih sayang
Bia dengan tidak membiarkannya menderita berlama-lama. Itulah takdir Bia,
seperti juga takdir Bumi dan Bimbi. Setelah lulus, Bumi melanjutkan kuliah ke
luar negeri dan Bimbi lebih memilih Bali untuk kuliah seni. Mereka berpisah.
Melupakan yang sudah-sudah.
Dan
sekarang aku masih memandangi 18 tangkai mawar putih di jambangan kaca
yang kubeli sore tadi di toko bunga. Kado ulang tahun Bia yang istimewa. Sama
seperti jumlah usianya seandainya sekarang dia masih ada. Kupikir, nanti aku
akan letakkan tangai-tangkai bunga mawar itu di atas pusaranya. Sebelum langit
pagi menguning, sebelum rumput pekuburan yang berkerudung embun dicumbu waktu
hingga mengering. Biar Bia bisa menciumi wanginya dan menatapi kuntum-kuntum
putih kesukaannya. Biar Bia tahu bahwa aku akan selalu memberinya sudut ruang
yang lapang, di sini, di sebelah jantungku.
Lama,
kupandangi bunga mawar itu bersama lamunanku hingga suara sayup adzan subuh
singgah di telingaku. Kulihat jam weker warna merah tembaga di samping deretan
koleksi CD/DVD. 04.40. Kumatikan rokok yang ujungnya mulai habis terbakar di
dasar asbak. Kuhitung ada tujuh puntung tergeletak di situ. Kopi di
cangkir tinggal sedikit lagi tersisa. Aku lalu bergegas mengambil air wudhu. Di
benakku, dalam shalat subuhku nanti aku ingin menyelami hati, memuja Sang
Pencipta untuk berdo'a. Do'a untuk aku, Bia, Bumi dan juga Bimbi. Subuh yang syahdu, bathinku!
Kata-Kata
Kaki
Di kisah
sebenarnya, Bia, Bumi, Bimbi adalah AO, TW, RLD. Seandainya kalian
membaca tulisan ini, semoga bisa mengingat kembali kisah kenangan kita berempat
di sudut-sudut waktu yang bernama Parijs van Java.
No comments:
Post a Comment